Halo! Saya seorang Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

Representasi Simbol dalam Robohnya Surau Kami

Selasa, 27 Mei 2025 09:41 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Iklan

Surau digambarkan Navis sebagai iman seseorang yang rubuh, bukan sekadar wadah umat muslim beribadah.

AA Navis memiliki kumpulan cerpen, salah satunya berjudul Robohnya Surau Kami. Cerpen ini menggambarkan banyak sekali tokoh yang dianggap akan masuk "surga" sebab rajin ibadah dan sering naik haji.

Alur cerpen ini mundur, menceritakan tokoh "Aku" yang mengajak pembaca untuk melihat kilas balik peristiwa yang terjadi di kampungnya. "Kalau beberapa tahun yang lalu Tuan datang ke kota kelahiranku dengan menumpang bis, Tuan akan berhenti dekat pasar".

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Navis mengkritik masyarakat minang melalui cerpen ini, disimbolkannya Ajo Sidi sebagai seorang pembual, karena banyak omong. Ajo Sidi membuat cemooh kepada mereka yang mabuk agama tapi lupa menaruh hati pada manusia.Menceritakan tokoh kakek sebagai penjaga surau yang hidup dari recehan pemberian derma orang-orang di sekitarnya, ia bekerja sebagai pengasah pisau cukur, kadang diberi imbalan, kadang tidak.

Hingga tibalah sosok "Aku" menemui kakek untuk memberikan sumbangsih. Kakek bercerita kepada tokoh "Aku" bahwa kesal dengan Ajo Sidi, kakek dikutuknya dan diceritakannya sosok Haji Saleh yang sedang menunggu giliran memasuki pintu putih dan hitam, yakin ia masuk surga dengan segala imannya.

Haji Saleh bertolak pinggang melihat manusia-manusia terbakar oleh api, lalu melambaikan tangan kepada penghuni surga. Laki-laki itu percaya diri sekali. Hingga waktunya Tuhan menanyakan kehidupan Haji Saleh di dunia, penuh kesombongan menyebutkan dirinya pernah ke Mekah, lalu dilabeli "Haji". Laki-laki bertolak pinggang itu tak mau mengakui kesalahannya, ia terus mengulang bahwa dirinya selama di dunia fokus ibadah saja. Lalu Tuhan memerintahkan malaikat untuk menyeret Haji Saleh ke Neraka. Kenapa? Bukankah Haji Saleh taat?

Rupanya, Haji Saleh melupakan nilai kemanusiaan.Tuhan berterus terang: "Tidak. Kesalahan Engkau, karena engkau terlalu mementingkan dirimu sendiri. Kau takut masuk neraka, karena itu kau taat sembahyang. Tapi engkau melupakan kehidupan kaummu sendiri, melupakan kehidulan anak isterimu sendiri, sehingga mereka itu kucar-kacir selamanya. Inilah kesalahanmu yang terbesar, terlalu egoistis. Padahal engkau di dunia berkaum, bersaudara semuanya, tapi engkau tak mempedulikan mereka sedikit pun".

Pada penghujung cerita, kakek meninggal bunuh diri melalui pisau cukurnya. Kakek terhantam oleh bualan Ajo Sidi. Setelah kakek meninggal, tidak ada lagi yang menjaga surau, barang-barang dijarah oleh masyarakat sekitar.

Menurut Webster dalam buku Albertine Minderop dengan judul "Psikologi Sastra", simbol adalah sesuatu yang merujuk pada relasi nalar yang kebetulan ada kemiripan dan dapat dilihat. Sejatinya, simbol mewujudkan dirinya di sekitar kita yang melibatkan ungkapan dari benda-benda, tetapi memiliki hubungan makna dan perasaan.

Hakikatnnya simbol "Surau" bermakna tempat untuk ibadah umat muslim. Tetapi, dalam cerpen "Rubuhnya Surau Kami" representasi maknanya berubah, bukan tempat ibadah yang mulai rubuh, karena banyak barang dijarah.

Ada beberapa makna simbolis di dalam cerpen ini sebagai berikut:

1. Mundurnya keimanan seseorang

Simbol "Surau" ditafsirkan Aa Navis sebagai manusia agamis yang taat ibadah kepada Tuhan. Sedangkan "Rubuh" adalah jatuhnya keimanan seseorang.

2. Masyarakat sekitar yang apatis

Kakek adalah penjaga surau seorang diri, tidak ada masyarakat lain yang menerapkan pemikiran seperti kakek. Ketika kakek meninggal, barang-barang di dalam Surau sudah lenyap dijarah.

3. Kritik tokoh agamis

Melalui bualan Ajo Sidi, Aa Navis ingin menyinggung tokoh-tokoh agama yang hanya mengedepankan habluminallah, tapi lupa akan habluminannas. Padahal agama Islam sendiri mengajarkan kita harus saling berbagi rezeki, contoh paling sederhana adalah bau masakan lezat yang mencemari hidung tetangga, perlu dibagikan.

 

Jadi, novel ini menyimbolkan manusia-manusia sombong yang percaya dirinya paling baik. Mereka kaya secara harta, tapi tidak kaya secara hati.


Daftar Pustaka:

Albertine Minderop. 2010. Psikologi Sastra. (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia). hlm. 91.

Bagikan Artikel Ini
img-content
Ariska Avrillyani

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler